Saturday, April 18, 2009
sirosis hepatis
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
2. Etiologi
Ada 3 tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati :
1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan terutama terdiri atas saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan yang dikelilingi oleh jaringan parut.
3. Manifestasi Klinis
Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang intermiten.
Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).
Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.
4. Patofisiologi
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.
Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.
5. Proses Keperawatan Pada Pasien Sirosis Hepatis
• Pengkajian
Pengkajian keperawatan berfokuskan pada awitan gejala dan riwayat faktor-faktor pencetus, khususnya penyalahgunaan alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani penderita. Pola penggunaan alkohol yang sekarang dan pada masa lampau (durasi dan jumlahnya) dikaji serta dicatat. Yang juga harus dicatat adalah riwayat kontak dengan zat-zat toksik di tempat kerja atau selama melakukan aktivitas rekreasi. Pajanan dengan obat-obat yang potensial bersifat hepatotoksik atau dengan obat-obat anestesi umum dicatat dan dilaporkan.
Status mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan pasien; orientasi terhadap orang, tempat dan waktu harus diperhatikan. Kemampuan pasien untuk melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga memberikan informasi tentang status jasmani dan rohani. Di samping itu, hubungan pasien dengan keluarga, sahabat dan teman sekerja dapat memberikan petunjuk tentang kehilangan kemampuan yang terjadi sekunder akibat meteorismus (kembung), perdarahan gastrointestinal, memar dan perubahan berat badan perlu diperhatikan.
Status nutrisi yang merupakan indikator penting pada sirosis dikaji melalui penimbangan berat yang dilakukan setiap hari, pemeriksaan antropometrik dan pemantauan protein plasma, transferin, serta kadar kreatinin.
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan
Diagnosa Keperawatan : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan : peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.
1. Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
2. Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
3. Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat
4. Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap 1. Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
2. Memberikan nutrien tambahan.
3. Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
4. Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri • Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan pasien.
• Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup.
• Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya kekuatan.
• Memperlihatkan asupan nutrien yang adekuat dan menghilangkan alkohol dari diet.
Diagnosa keperawatan : perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis.
Tujuan : pemeliharaan suhu tubuh yang normal.
1. Catat suhu tubuh secara teratur.
2. Motivasi asupan cairan
3. Lakukan kompres dingin atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.
4. Berikan antibiotik seperti yang diresepkan.
5. Hindari kontak dengan infeksi.
6. Jaga agar pasien dapat beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi. 1. Memberikan dasar untuk deteksi hati dan evaluasi intervensi.
2. Memperbaiki kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
3. Menurunkan panas melalui proses konduksi serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat kenyaman pasien.
4. Meningkatkan konsentrasi antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi.
5. Meminimalkan resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik.
6. Mengurangi laju metabolik. • Melaporkan suhu tubuh yang normal dan tidak terdapatnya gejala menggigil atau perspirasi.
• Memperlihatkan asupan cairan yang adekuat.
Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan : memperbaiki integritas kulit dan proteksi jaringan yang mengalami edema.
1. Batasi natrium seperti yang diresepkan.
2. Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
3. Balik dan ubah posisi pasien dengan sering.
4. Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
5. Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
6. Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya. 1. Meminimalkan pembentukan edema.
2. Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
3. Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
4. Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
5. Meningkatkan mobilisasi edema.
6. Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar. • Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubun.
• Tidak memperlihatkan luka pada kulit.
• Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna atau peningkatan suhu di daerah tonjolan tulang.
• Mengubah posisi dengan sering.
Diagnosa keperawatan : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status imunologi yang terganggu.
Tujuan : Memperbaiki integritas kulit dan meminimalkan iritasi kulit.
1. Observasi dan catat derajat ikterus pada kulit dan sklera.
2. Lakukan perawatan yang sering pada kulit, mandi tanpa menggunakan sabun dan melakukan masase dengan losion pelembut (emolien).
3. Jaga agar kuku pasien selalu pendek. 1. Memberikan dasar untuk deteksi perubahan dan evaluasi intervensi.
2. Mencegah kekeringan kulit dan meminimalkan pruritus.
3. Mencegah ekskoriasi kulit akibat garukan. • Memperlihatkan kulit yang utuh tanpa terlihat luka atau infeksi.
• Melaporkan tidak adanya pruritus.
• Memperlihatkan pengurangan gejala ikterus pada kulit dan sklera.
• Menggunakan emolien dan menghindari pemakaian sabun dalam menjaga higiene sehari-hari.
Diagnosa keperawatan : Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
Tujuan : Perbaikan status nutrisi.
1. Motivasi pasien untuk makan makanan dan suplemen makanan.
2. Tawarkan makan makanan dengan porsi sedikit tapi sering.
3. Hidangkan makanan yang menimbulkan selera dan menarik dalam penyajiannya.
4. Pantang alkohol.
5. Pelihara higiene oral sebelum makan.
6. Pasang ice collar untuk mengatasi mual.
7. Berikan obat yang diresepkan untuk mengatasi mual, muntah, diare atau konstipasi.
8. Motivasi peningkatan asupan cairan dan latihan jika pasien melaporkan konstipasi.
9. Amati gejala yang membuktikan adanya perdarahan gastrointestinal. 1. Motivasi sangat penting bagi penderita anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
2. Makanan dengan porsi kecil dan sering lebih ditolerir oleh penderita anoreksia.
3. Meningkatkan selera makan dan rasa sehat.
4. Menghilangkan makanan dengan “kalori kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh alkohol.
5. Mengurangi citarasa yang tidak enak dan merangsang selera makan.
6. Dapat mengurangi frekuensi mual.
7. Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut yang mengurangi selera makan dan keinginan terhadap makanan.
8. Meningkatkan pola defekasi yang normal dan mengurangi rasa tidakenak serta distensi pada abdomen.
9. Mendeteksi komplikasi gastrointestinal yang serius. • Memperlihatkan asupan makanan yang tinggi kalori, tinggi protein dengan jumlah memadai.
• Mengenali makanan dan minuman yang bergizi dan diperbolehkan dalam diet.
• Bertambah berat tanpa memperlihatkan penambahan edema dan pembentukan asites.
• Mengenali dasar pemikiran mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi sering.
• Melaporkan peningkatan selera makan dan rasa sehat.
• Menyisihkan alkohol dari dalam diet.
• Turut serta dalam upaya memelihara higiene oral sebelum makan dan menghadapi mual.
• Menggunakna obat kelainan gastrointestinal seperti yang diresepkan.
• Melaporkan fungsi gastrointestinal yang normal dengan defekasi yang teratur.
• Mengenali gejala yang dapat dilaporkan: melena, pendarahan yang nyata.
Diagnosa keperawatan : Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
Tujuan : Pengurangan resiko cedera.
1. Amati setiap feses yang dieksresikan untuk memeriksa warna, konsistensi dan jumlahnya.
2. Waspadai gejala ansietas, rasa penuh pada epigastrium, kelemahan dan kegelisahan.
3. Periksa setiap feses dan muntahan untuk mendeteksi darah yang tersembunyi.
4. Amati manifestasi hemoragi: ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi.
5. Catat tanda-tanda vital dengan interval waktu tertentu.
6. Jaga agar pasien tenang dan membatasi aktivitasnya.
7. Bantu dokter dalam memasang kateter untuk tamponade balon esofagus.
8. Lakukan observasi selama transfusi darah dilaksanakan.
9. Ukur dan catat sifat, waktu serta jumlah muntahan.
10. Pertahankan pasien dalam keadaan puasa jika diperlukan.
11. Berikan vitamin K seperti yang diresepkan.
12. Dampingi pasien secara terus menerus selama episode perdarahan.
13. Tawarkan minuman dingin lewat mulut ketika perdarahan teratasi (bila diinstruksikan).
14. Lakukan tindakan untuk mencegah trauma :
1. Mempertahankan lingkungan yang aman.
2. Mendorong pasien untuk membuang ingus secara perlahan-lahan.
3. Menyediakan sikat gigi yang lunak dan menghindari penggunaan tusuk gigi.
4. Mendorong konsumsi makanan dengan kandungan vitamin C yang tinggi.
5. Melakukan kompres dingin jika diperlukan.
6. Mencatat lokasi tempat perdarahan.
7. Menggunakan jarum kecil ketika melakukan penyuntikan.
15. Berikan obat dengan hati-hati; pantau efek samping pemberian obat. 1. Memungkinkan deteksi perdarahan dalam traktus gastrointestinal.
2. Dapat menunjukkan tanda-tanda dini perdarahan dan syok.
3. Mendeteksi tanda dini yang membuktikan adanya perdarahan.
4. Menunjukkan perubahan pada mekanisme pembekuan darah.
5. Memberikan dasar dan bukti adanya hipovolemia dan syok.
6. Meminimalkan resiko perdarahan dan mengejan.
7. Memudahkan insersi kateter kontraumatik untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada pasien yang cemas dan melawan.
8. Memungkinkan deteksi reaksi transfusi (resiko ini akan meningkat dengan pelaksanaan lebih dari satu kali transfusi yang diperlukan untuk mengatasi perdarahan aktif dari varises esofagus)
9. Membantu mengevaluasi taraf perdarahan dan kehilangan darah.
10. Mengurangi resiko aspirasi isi lambung dan meminimalkan resiko trauma lebih lanjut pada esofagus dan lambung.
11. Meningkatkan pembekuan dengan memberikan vitamin larut lemak yang diperlukan untuk mekanisme pembekuan darah.
12. Menenangkan pasien yang merasa cemas dan memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap kebutuhan pasien selanjutnya.
13. Mengurangi resiko perdarahan lebih lanjut dengan meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah esofagus dan lambung.
14. Meningkatkan keamanan pasien.
1. Mengurangi resiko trauma dan perdarahan dengan menghindari cedera, terjatuh, terpotong, dll.
2. Mengurangi resiko epistaksis sekunder akibat trauma dan penurunan pembekuan darah.
3. Mencegah trauma pada mukosa oral sementara higiene oral yang baik ditingkatkan.
4. Meningkatkan proses penyembuhan.
5. Mengurangi perdarahan ke dalam jaringan dengan meningkatkan vasokontriksi lokal.
6. Memungkinkan deteksi tempat perdarahan yang baru dan pemantauan tempat perdarahan sebelumnya.
7. Meminimalkan perambesan dan kehilangan darah akibat penyuntikan yang berkali-kali.
15. Mengurangi resiko efek samping yang terjadi sekunder karena ketidakmampuan hati yang rusak untuk melakukan detoksifikasi (memetabolisasi) obat secara normal.
• Tidak memperlihatkan adanya perdarahan yang nyata dari traktus gastrointestinal.
• Tidak memperlihatkan adanya kegelisahan, rasa penuh pada epigastrium dan indikator lain yang menunjukkan hemoragi serta syok.
• Memperlihatkan hasil pemeriksaan yang negatif untuk perdarahan tersembunyi gastrointestinal.
• Bebas dari daerah-daerah yang mengalami ekimosis atau pembentukan hematom.
• Memperlihatkan tanda-tanda vital yang normal.
• Mempertahankan istirahat dalam keadaan tenang ketika terjadi perdarahan aktif.
• Mengenali rasional untuk melakukan transfusi darah dan tindakan guna mengatasi perdarahan.
• Melakukan tindakan untuk mencegah trauma (misalnya, menggunakan sikat gigi yang lunak, membuang ingus secara perlahan-lahan, menghindari terbentur serta terjatuh, menghindari mengejan pada saat defekasi).
• Tidak mengalami efek samping pemberian obat.
• Menggunakan semua obat seperti yang diresepkan.
• Mengenali rasional untuk melakukan tindakan penjagaan dengan menggunakan semua obat.
Diagnosa keperawatan : Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites.
Tujuan : Peningkatan rasa kenyamanan.
1. Pertahankan tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen.
2. Berikan antipasmodik dan sedatif seperti yang diresepkan.
3. Kurangi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan. 1. Mengurangi kebutuhan metabolik dan melindungi hati.
2. Mengurangi iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman pada abdomen.
3. Memberikan dasar untuk mendeteksi lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan untuk mengevaluasi intervensi.
4. Meminimalkan pembentukan asites lebih lanjut. • Mempertahankan tirah baring dan mengurangi aktivitas ketika nyeri terasa.
• Menggunakan antipasmodik dan sedatif sesuai indikasi dan resep yang diberikan.
• Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman pada abdomen.
• Melaporkan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman jika terasa.
• Mengurangi asupan natrium dan cairan sesuai kebutuhan hingga tingkat yang diinstruksikan untuk mengatasi asites.
• Merasakan pengurangan rasa nyeri.
• Memperlihatkan pengurangan rasa nyeri.
• Memperlihatkan pengurangan lingkar perut dan perubahan berat badan yang sesuai.
Diagnosa keperawatan : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan edema.
Tujuan : Pemulihan kepada volume cairan yang normal.
1. Batasi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan.
2. Berikan diuretik, suplemen kalium dan protein seperti yang dipreskripsikan.
3. Catat asupan dan haluaran cairan.
4. Ukur dan catat lingkar perut setiap hari.
5. Jelaskan rasional pembatasan natrium dan cairan. 1. Meminimalkan pembentukan asites dan edema.
2. Meningkatkan ekskresi cairan lewat ginjal dan mempertahankan keseimbangan cairan serta elektrolit yang normal.
3. Menilai efektivitas terapi dan kecukupan asupan cairan.
4. Memantau perubahan pada pembentukan asites dan penumpukan cairan.
5. Meningkatkan pemahaman dan kerjasama pasien dalam menjalani dan melaksanakan pembatasan cairan. • Mengikuti diet rendah natrium dan pembatasan cairan seperti yang diinstruksikan.
• Menggunakan diuretik, suplemen kalium dan protein sesuai indikasi tanpa mengalami efek samping.
• Memperlihatkan peningkatan haluaran urine.
• Memperlihatkan pengecilan lingkar perut.
• Mengidentifikasi rasional pembatasan natrium dan cairan.
Diagnosa keperawatan : Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati dan peningkatan kadar amonia.
Tujuan : Perbaikan status mental.
1. Batasi protein makanan seperti yang diresepkan.
2. Berikan makanan sumber karbohidrat dalam porsi kecil tapi sering.
3. Berikan perlindungan terhadap infeksi.
4. Pertahankan lingkungan agar tetap hangat dan bebas dari angin.
5. Pasang bantalan pada penghalang di samping tempat tidur.
6. Batasi pengunjung.
7. Lakukan pengawasan keperawatan yang cermat untuk memastikan keamanan pasien.
8. Hindari pemakaian preparat opiat dan barbiturat.
9. Bangunkan dengan interval. 1. Mengurangi sumber amonia (makanan sumber protein).
2. Meningkatkan asupan karbohidrat yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan energi dan “mempertahankan” protein terhadap proses pemecahannya untuk menghasilkan tenaga.
3. Memperkecil resiko terjadinya peningkatan kebutuhan metabolik lebih lanjut.
4. Meminimalkan gejala menggigil karena akan meningkatkan kebutuhan metabolik.
5. Memberikan perlindungan kepada pasien jika terjadi koma hepatik dan serangan kejang.
6. Meminimalkan aktivitas pasien dan kebutuhan metaboliknya.
7. Melakukan pemantauan ketat terhadap gejala yang baru terjadi dan meminimalkan trauma pada pasien yang mengalami gejala konfusi.
8. Mencegah penyamaran gejala koma hepatik dan mencegah overdosis obat yang terjadi sekunder akibat penurunan kemampuan hati yang rusak untuk memetabolisme preparat narkotik dan barbiturat.
9. Memberikan stimulasi kepada pasien dan kesempatan untuk mengamati tingkat kesadaran pasien. • Memperlihatkan perbaikan status mental.
• Memperlihatkan kadar amonia serum dalam batas-batas yang normal.
• Memiliki orientasi terhadap waktu, tempat dan orang.
• Melaporkan pola tidur yang normal.
• Menunjukkan perhatian terhadap kejadian dan aktivitas di lingkungannya.
• Memperlihatkan rentang perhatian yang normal.
• Mengikuti dan turut serta dalam percakapan secara tepat.
• Melaporkan kontinensia fekal dan urin.
• Tidak mengalami kejang.
Diagnosa keperawatan : Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.
Tujuan : Perbaikan status pernapasan.
1. Tinggalkan bagian kepala tempat tidur.
2. Hemat tenaga pasien.
3. Ubah posisi dengan interval.
4. Bantu pasien dalam menjalani parasentesis atau torakosentesis.
1. Berikan dukungan dan pertahankan posisi selama menjalani prosedur.
2. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang diaspirasi.
3. Melakukan observasi terhadap bukti terjadinya batuk, peningkatan dispnu atau frekuensi denyut nadi. 1. Mengurangi tekanan abdominal pada diafragma dan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru yang maksimal.
2. Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien.
3. Meningkatkan ekspansi (pengembangan) dan oksigenasi pada semua bagian paru).
4. Parasentesis dan torakosentesis (yang dilakukan untuk mengeluarkan cairan dari rongga toraks) merupakan tindakan yang menakutkan bagi pasien. Bantu pasien agar bekerja sama dalam menjalani prosedur ini dengan meminimalkan resiko dan gangguan rasa nyaman.
2. Menghasilkan catatan tentang cairan yang dikeluarkan dan indikasi keterbatasan pengembangan paru oleh cairan.
3. Menunjukkan iritasi rongga pleura dan bukti adanya gangguan fungsi respirasi oleh pneumotoraks atau hemotoraks (penumpukan udara atau darah dalam rongga pleura). • Mengalami perbaikan status pernapasan.
• Melaporkan pengurangan gejala sesak napas.
• Melaporkan peningkatan tenaga dan rasa sehat.
• Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18/menit) tanpa terdengarnya suara pernapasan tambahan.
• Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan dangkal.
• Memperlihatkan gas darah yang normal.
• Tidak mengalami gejala konfusi atau sianosis.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC
BERFIKIR KRITIS DALAM KEPERAWATAN
(CRITIKCAL THINKING IN NURSING).
Ilustrasi :
Sebelum mengambil keputusan untuk membaca sesuatu, anda tentu sudah berfikir tentang itu.
Berdasarkan keputusan anda untuk membaca buku, adakah itu melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu, atau mendengar, apa yang anda lihat sebelumnya ?.
Sebelum mulai membaca teks, anda harus berfikir :
• Apakah sekarang saya membaca atau nonton TV ?
• Akapah saya ingin berbaring di tempat tidur atau membaca sambil duduk ?
• Apakah saya memerlukan lampu penerangan atau cukup tanpa perlu lampu ?
Pertanyaan ini memerlukan pemikiran dan jawaban.
Bagaimana pertimbangan anda pada semua pilihan dan berfikir sebelum memilih model untuk belajar.
Tiap-tiap pilihan di atas memerlukan metoda berfikir yang berbeda.
Berfikir
proses yang tidak statisà
berubah setiap saat/hari.à
Proses berfikir bersifat dinamis.
Semua tindeakan keperawatan memerlukan proses berfikir.
Berfikir kritis dalam keperawatan adalah komponen dasar dalam pertanggunggugatan profesional dan kualitas asuhan keperawatan
Berfikir kritis
jaminan yang terbaik bagi perawat mencapai sukses dalam berbagai aktifitas.à
BERFIKIR KRITIS DALAM KEPERAWATAN
Berfikir kritis perlu bagi perawat :
1. Penerapan profesionalisme.
2. Pengetahuan tehnis dan keterampilan tehnis dalam memberikan askep.
Seorang pemikir yang baik tentu juga seorang perawat yang baik.
Diperlukan perawat, karena :
• Perawat setiap hari mengambil keputusan.
• Perawat menggunakan keterampilan berfikir :
1. Menggunakan pengetahuan dari berbagai sumbjek dan lingkungannya
2. menangani perubahan yang berasal dari stressor lingkungan
3. penting membuat keputusan.
Mz.Kenzie à Critical thinking : Ditujukan pada situasi, rencana, aturan yang terstandar dan mendahului dalam pembuatan keputusan.
Critical thinking à Investigasi terhadap tujuan guna mengeksplorasi situasi, phenomena, pertanyaan, atau masalah untuk menuju pada hipotesa atau keputusan secara terintegrasi.
Critical thinking : Pengujian yang rasional terhadap ide-ide, pengaruh, asumsi, prinsip-prinsip, argumen, kesimpulan-kesimpulan, isu-isu, pernyataan, keyakinan dan aktifitas (Bandman and Bandman, 1988).
Pengujian berdasarkan alasan ilmiah, pengembilan keputusan dan kreatifitas.
Asumsi berfikir (Think) :
komponen dasarà• Berfikir, perasaan dan berbuat dilakukan bersama/sejalan keperawatan.
Berfikir tanpa melakukan sesuatu adalah sia-sia
Bekerja tanpa berfikir adalah sangat berbahaya
sesuatu yang tidak mungkinàBerfikir /berbuat tanpa diserta perasaan
metoda berfikir kritis :àFreely
debate .
1. lndividual decision Group
2. Persuasi
3. Propaganda
4. Coercion
Karakteristik berfikir kritis :
• Proses pengetahuan multi dimensi
• Orientasi pada proses
• Kerangka interpretasi pengetahuan, tantangan, pengambilan keputusan, hipotesa dan memodifikasi
Proses berfikir kritis :
1. Memahami
2. Mengevaluasi isi dan bagan isi
3. Mempertanyakan-menjawab-bertanya-menjawab-dst.
4. Membangun pertanyaan : Pemicu proses berkelanjutan yaitu proses untuk mencari jawaban dengan kemungkinan :
a.Ada jawaban-pertanyaan jawaban
b.Tak terdapat jawaban-masalah.
5. Titik jawab - upaya pencarian - mencari jawaban melalui rangkaian kegiatan -Riset.
Model berfikir kritis (The Six Rs) :àCosta, Dkk (1985)
1. Remembering
2. Repeating
3. Reasoning
4. Reorganizing
5. Relating
6. Reflecting
5 bentuk berfikir ( T H I N K )
Total Recall :
Kemampuan mengkaji pengetahuan, dengan pengetahuan itu seseorang belajar dan menanamkan
Ada yg. Sangat luas wawasannya-sangat mengetahui.
perawat pemula yang sedikit pengetahuannya tentang keperawatan.àKurang wawasan
Total recall :
- mengingat fakta-fakta
- mengingat dimana dan mengapa menemukan sesuatu yang diperlukan
- Fakta dalam keperawatan diperoleh dari berbagai sumber termasuk pasien dan keluarganya.
Habits :
Apabila tindakan kebiasaan tidak ada, maka sama dengan berbuat tanpa diterima untuk mengerjakan sesuatu pada waktu yg. Tepat atauàberfikir. keharusan mengerjakan.
sering digunakan dalam keperawatan.àCardiopulmonary resuscitation (CPR)
Inquiry :
- menguji isue secara mendalam.
- Pertanyaan yang segera menjadi kenyataan
- Cara berfikir yang utama dalam keputusan
- Keputusan akan lebih akurat bila menggunakan pendekatan inquiry
- Pengumpulan dan analisa info untuk keputusan akan lebih baik.
News ideas and creativity :
- Akar yang perlu dikembangkan dalam keperawatan
- Keperawatan memiliki banyak standar yang dapat menjamin pekerjaan lebih baik. tetapi tidak selalu dapat dilakukan. OKI perawat harus askep lebihàbelajar lebih banyak guna memperoleh informasi baru berkualitas.
Knowing how you think :
- Jika perawat berada dalam suatu proses mengetahui, maka peraswat akan dapat mengetahui apa yang difikirkan.
Ada 4 hal pokok penerapan berfikir kritis dalam keperawatan
1.Penggunaan bahasa dalam keperawatan :
Berfikir kritis ad/ kemampuan menggunakan bahasa secara reflektif.
- perawat menggunakan bahasa verbal dan nonverbal dalam mengekspresikan idea, fikiran, info, fakta, perasaan, keyakinan dan sikapnya terhadap klien, sesama perawat, profesi.
- Secara nonverbal saat melakukan pedokumentasian keperawatan.
2. Argumentasi dalam keperawatan Sehari-hari perawat dihadapkan pada situasi harus berargumentasi untuk menenukan, menjelaskan kebenaran, mengklarifikasi isu, memberikan penjelasan, mempertahankan terhadap suatu tuntutan/tuduhan.
argumentasi terkait dg. konsep berfikir dalam keperawatan :àBadman and Badman (1988)
1. berhubungan dengan situasi perdebatan.
2. Debat tentang suatu isu
3. Upaya untuk mempengaruhi individu/kelompok
4. Penjelasan yang rasional
3. Pengambilan keputusan dalam keperawatan
Sehari-hari perawat harus mengambil keputusan yang tepat.
Keputusan apa yang harus kita lakukan
4. Penerapan Proses Keperawatan
Perawat berfikir kritis pada setiap langkah proses keperawatan
a. Pengkajian :
- mengumpulkan data dan validasi.
berfikir kritis.à- Perawat melakukan observasi dalam pengumpulan data
menggunakan ilmu-ilmu lain yang terkait.à- Mengelola dan mengkatagorikan data
b. Perumusan diagnosa keperawatan :
- Tahap pengambilan keputusan yang paling kritis.
- Menentukan masalah dan argumen secara rasional
- Lebih terlatih, lebih tajam dalam dalam masalah
c. Perencanaan keperawatan :
- menggunakan pengetahuan untuk mengembangkan hasil yang diharapkan
- keterampilan guna mensintesa ilmu yang dimiliki untuk memilih tindakan
d. Pelaksanaan keperawatan :
- pelaksanaan tindakan keperawatan adalkah keterampilan dalam menguji hipotesa.
- Tindakasn nyata yang menentukan tingkat keberhasilan
e. Evaluasi keperawatan :
-Mengkaji efektifitas tindakan
-Perawat harus dapat mengambil keputusan tentang pemenuhan kebutuhan dasar klien
-Perlukah diulangi
SINDROM CHUSING
SINDROM CHUSING
I. Konsep Penyakit
A. Definisi
Syndrome Chusing : Gambaran klinis yang timbul akibat peningkatan glukotirid plasma jangka panjang dalam dosis farmakologik (Latrogen). (William. F. Ganang,Fisiologis Kedokteran,Hal 364)
Syndrome Chusing : Di sebabkan oleh skresi berlebihan steroid adrenokortial,terutama kortisol.(IPD.Edisi III jilid I,hal 826)
Syndrome Chusing : Akibat rumatan dari kadar kortisol darah yang tinggi secara abnormal karena hiperfungsi korteks adrenal.(ilmu Kesehatan anak,Edisi 15 hal 1979).
B. Etiologi
Ada 5 tipe Syndome chusing :
1. Penyakit chusing ditemukan pada kira-kira 80 % pasien.Kerusakan kemungkinan terletak di hipotalamus,tetapi ini belum terbukti.
2. Tumor adrenal,dijumpai pada kira-kira 15 % pasien,biasanya adenoma kecil tunggal dan jinak.
3. ACTH ectopik salah satu syndrome chusing oleh karena produksi ektopik adalah ACTH oleh tumor maligna non-endokrin.
4. Alkoholisme.
5. Kortikosteroid
C. Patofiologi
D. Manifestasi Klinis
1. Obesitas
2. Wajah bulan
3. Perubahan-Perubahan pada kulit
4. Hirsutisme
5. Hipertensi
6. Disfungsi Gonad
7. Gangguan Psikologis
8. Kelemahan Otot,Mudah lelah
9. Osteoporosis akibat Katabolisme Protein yang berlebih
10. Haus dan poliuri
11. Gangguan tidur akibat dhiural kortisol
12. Nyeri punggung
E. Komplikasi
Krisis Addisonnia
Efek yang merugikan pada aktivitas koreksi adrenal
Patah tulang akibat osteoporosis
F. Diagnosa banding
ACTH Ektopik
Tumor primer di adrenal (Endokrinologi edisi 4 hal 437)
G. Test Diagnostik
1. CT scan
Untuk Menunjukkan pembesaran adrenal pada kasus syndrome cusing
2. Photo scaning
3. Pemeriksaan sidik nuklir
Kelenjar adrenal mengharuskan Pemberian kolesterol radio aktif secara inra vena
4. Pemeriksaan elektro kardiograafi
Untuk menentukan adanya hipertensi
(Endokrinologi edisi 4 hal 437)
H. Penatalaksanaan
Pengobatan syndrome chusing tergantung ACTH tidak nseragam,bergantung apakah sumber ACTH adalah hipofisis /Ektopik :
1. Jika dijumpai tumor hipofis ,Sebaiknya diusahakan reseksi tumor transfeonida.
2. Jika terdapat bukti hiperfunggsi hipofisis namun tumor tidak ditemukan maka sebagai gantinya dapat dilakukan radiasi kobait pada kelenjar hipofisis
3. Kelebihan kortisol juga dapat ditanggulangi dengan adrenolektomi total dan diikuti pemberian kortisol dosis fisiologis
4. Bila kelebihan kortisol disebabkan oleh neoplasma adrenal,maka pengangkatan neoplasa disusul kemoterapi pada penderita dengan karsinoma/terapi pembedahan.
5. Digunakan obat dengan jenis Metropyne,amino gluthemid O,P-OOO yang bisa mensekresikan kortisol
(Patofisiologis edisi 4 hal :1093)
Sunday, April 5, 2009
cedera kepala
Latar Belakang
Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Trauma kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurlogis lainnya serta mempunyai proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.Lebih dari setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya.Resiko utama pasien yang mengalami trauma kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial (PTIK).
B. TujuanUmum
Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala. KhususMengetahui pengertian trauma kepala.Mengetahui etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala.Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala.
C. Ruang Lingkup
Makalah ini akan membahas konsep teori tentang trauma kepala dan masalah keperawatan pasien dengan trauma kepala serta asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PengertianTrauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):MinorSKG 13 – 15Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.SedangSKG 9 – 12Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.Dapat mengalami fraktur tengkorak.BeratSKG 3 – 8Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Etiologi
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
Cedera akibat kekerasan.
Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Pathway Trauma kepala Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial
Manifestasi Klinis
Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
Kebungungan
Iritabel
Pucat
Mual dan muntah
Pusing kepala
Terdapat hematoma
Kecemasan
Sukar untuk dibangunkan
Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
Komplikasi:
Hemorrhagie
Infeksi
Edema
Herniasi
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)Rotgen FotoCT ScanMRI
Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
Observasi 24 jam Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. Berikan terapi intravena bila ada indikasi. Anak diistirahatkan atau tirah baring. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi. Pemberian obat-obat analgetik. Pembedahan bila ada indikasi. Rencana Pemulangan Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
BAB III ASUHAN KEPERAWATANA.
Pengkajian
Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.Pemeriksaan fisikSistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Sistem saraf : Kesadaran à GCS. Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial. Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
Sistem pencernaan Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah: Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Intervensi Keperawatan
Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:Kaji Airway, Breathing, Circulasi.Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.Pemberian oksigen sesuai program.
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi:Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinyapeningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).tekanan pada vena leher.pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.Monitor intake dan out put.Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.Perawatan kateter bila terpasang.Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.Intervensi:Kaji intake dan out put.Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.Berikan cairan intra vena sesuai program.
Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Anak terbebas dari injuri.Intervensi:Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.Kaji tingkat kesadaran dengan GCSMonitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.Berikan analgetik sesuai program.Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.Tujuan: Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.Kurangi rangsangan.Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.Intervensi:Kaji adanya drainage pada area luka.Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan: Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi:Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.Gunakan komunikasi terapeutik.
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi:Lakukan latihan pergerakan (ROM).Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.Kaji area kulit: adanya lecet.Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.
BAB IVKESIMPULAN
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996.Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.
LP fraktur
fraktur
askep combustio
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Klien
Nama : Tn. U
Umur : 38 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Buruh bangunan
Agama : Islam
Alamat : Kampung Tegal Junti Rt 04 Rw 04 Kecamatan Tegal Muncul, Purwakarta
Diagnosa Medis : Combustio gr II A-B 6%, gr III 8 %, post amputasi above elbow dekstra
No.MR : 0000678988
Tanggal Masuk : 26 November 2007
Tanggal Pengkajian : 29 November 2007
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. R
Umur : 26 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Kampung Tegal Junti Rt 04 Rw 04 Kecamatan Tegal Muncul, Purwakarta
Hubungan dgn keluarga : Istri
Sumber biaya : Askeskin
2. Lingkup Masalah Keperawatan
Pada saat klien dikaji klien mengeluh sesak..
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada tanggal 18 Nopember 2007 pukul 09.00, Tn U sedang memasang genting karena tidak melihat kabel PLN sehingga tangan kanan tersentuh kabel dan langsung mengenai klien hingga klien pingsan dan jatuh dari ketinggian 12 meter. Klien mengalami luka bakar dibagian tangan kanan, badan sebelah kanan, kaki kiri dan tangan kiri. Klien langsung dibawa ke RS Bayu Asih dan diberi perawatan namun karena peralatan yang kurang memadai maka klien dirujuk ke RSHS klien ditangani di ruang bedah RSHS dan dilakukan amputasi pada tanggal 26 nopember 2007 di bagian tangan kanannya, kemudian dirawat di unit luka bakar. Pada saat dikaji klien mengeluh sesak, sesak dirasakan apabila dalam posisi tirah baring yang terlentang disertai bantal, sesak berkurang apabila klien dalam keadaan semifowler (30-45º). Sesak dirasakan seperti ditindih benda berat, sesak dirasakan sekitar 15 sampai 30 menit disekitar dada.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Menurut pengakuan klien, sebelumnya klien tidak pernah mengalami luka bakar, namun karena pekerjaannya sebagai buruh bangunan sesekali mengalami lecet-lecet. Klien tidak pernah menderita sakit berat hanya batuk dan pilek biasa saja.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga klien tidak ada riwayat penyakit yang membahayakan dan tidak ada riwayat penyakit menular maupun penyakit keturunan.
4. Riwayat Psikologi
a. Citra Tubuh
Klien mengatakan bahwa tangan kanan yang telah diamputasi merasa masih ada. Terkadang klien ingin menggerakkan tangannya. Klien belum pernah bisa menerima tubuhnya saat ini. Klien adalah seorang pekerja buruh bangunan yang mengutamakan kekuatan tangan. Ketika pertama kali klien mengalami luka bakar, klien merasa malu dengan keadaan dirinya, namun dengan berjalannya waktu, klien mulai bisa menerima keadaannya.
b. Fungsi Peran
Klien adalah seorang pekerja bangunan tidak tetap sehingga dengan keadaan sakitnya sekarang klien tidak bisa bekerja dan menafkahi keluarganya.
c. Identitas Diri
Klien adalah seorang suami dan ayah dari 2 orang anak. Klien adalah tulang punggung keluarganya yang bekerja sebagai buruh bangunan.
d. Ideal diri
Klien berharap cepat sembuh sehingga dapat berkumpul kembali dengan keluarganya.
e. Harga Diri
Pada waktu pertama kali klien mengalami luka bakar klien malu dengan keadaaan dirinya. Tetapi sejalan dengan perawatan yang diberikan, klien mulai bisa menerima keadaan dirinya karena keluarga mendukung penuh. Klien merasa dilindungi oleh keluarga dan kerabatnya.
5. Riwayat Sosial
Hubungan klien dengan keluarganya sangat baik terbukti dengan istrinya yang sabar menunggu klien di rumah sakit, selain itu klien juga dijenguk oleh kerabatnya. Klien pun tampak kooperatif dengan dokter dan perawat ruangan.
6. Riwayat Spiritual
Klien adalah seorang muslim. Selama dirumah sakit klien mangalami keterbatasan dalam menjalankan ibadahnya. Klien selalu berdoa kepada Allah swt agarpenyakitnya cepat sembuh dan selalu diberikan ketabahan dan kesabaran.
7. Kebiasaan Sehari-hari
No
Kebiasaan
Di Rumah
Di Rumah Sakit
1.
2.
3.
4.
5.
Nutrisi
a. Makan
- Frekuensi
- Jenis
- Jumlah
b. Minum
- Jumlah
- Jenis
- Frekuensi
Eliminasi
a. BAK
- Frekuensi
- Warna
b. BAB
- Frekuensi
- Warna
- Konsistensi
Istirahat dan tidur
a. Tidur siang
b. Tidur malam
c. Gangguan
Personal hygiene
a. Mandi
b. Keramas
c. Gosok gigi
d. Gunting kuku
Ketergantungan
a. Alkohol
b. Obat-obatan
c. Rokok
d. Kopi
3 x sehari
nasi, sayur, buah
1 porsi makan
1500 cc
air putih
± 15 x sehari
8-10 x sehari
kuning jernih
1 x sehari
kuning
padat
tidak pernah
5-7 jam
tidak ada
2 x sehari
2 x seminggu
2 x sehari
1 minggu sekali
-
-
1 bungkus sehari
tidak tentu
terpasang NGT
-
puasa
300 cc
air putih + susu
± 4-8 x sehari
kuning
1 x sehari
hitam
1 jam
7-8 jam
tidak ada
2 x sehari di lap
belum
2 x /hari di bantu
belum
-
-
-
-
8. Pemeriksaan Fisik
a. Data Umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4 M6 V5)
Tanda tanda vital : T: 150/80 mmHg
P: 100 x/ menit
R: 28 x/menit
S: 37,7 ° C
SpO2 : 96 %
b. Sistem Pernafasan
Bentuk hidung simetris, Keadaan hidung kotor, tidak ada nyeri tekan pada daerah hidung,Bentuk dada barel chest, pergerakan dada simetris, terlihat menggunakan otot bantu pernafasan, frekuensi pernafasan 28 x/menit, irama ireguler, tidak ada wheezing, tidak terdengar ronkhi, tidak ada retraksi dada, postur tulang belakang normal.
c. System kardiovaskuler
Konjungtiva anemis, mukosa bibir kering, tidak ada perdarahan gusi, tidak ada peningkatam JVP, tidak ada pembesaran jantung, irama reguler, Cafillary refill time lebih dari 2 detik.Tidak ada suara murmur atau gallop.
d. System pencenaan
Bentuk bibir simetris, mukosa bibir kering, warna lidah sedikit putih, gigi lengkap 32 buah, tidak ada nyeri menelan, bentuk abdomen flat, tidak ada nyeri tekan abdomen, bising usus 4 x/menit, frekuensi BAB 1 x sehari (melena) tidak dilakukan palpasi hati dan ginjal karena ada luka bakar bagian perut sebelah kanan atas.
e. System perkemihan dan genetalia
Terpasang kateter, jumlah urine 50-100 cc /jam, tidak ada nyeri tekan kandung kemih, terdapat lesi dan nyeri tekan pada penis.
f. System persyarafan
Tingkat kesadaran : Compos mentis dengan GCS 15 (E4M6V5)
Pengkajian nervus cranial
1. Nervus I (Olfaktorius)
Fungsi penciuman baik, klien mampu membedakan bau minyak kayu putih dan teh.
2. Nervus II (Optikus)
Penglihatan baik, klien dapat membaca papan nama perawat pada jarak 30 cm, refleks pupil positif terhadap cahaya.
3. Nervus III (Okulomotorius)
Klien dapat mngangakat kelopak mata keatas dan kebawah.
4. Nervus IV (Trokhealis)
Klien dapat mnggerakan bola mata kekiri dan kekanan
5. Nervus V (Trigeminus)
Klien dapat membuka dan menutup rahang, klien dapat mengunyah makanan.
6. Nervus VI (Abdusen)
Klien mampu menggerakan bola mata keatas dan kebawah.
7. NervusVII (Fasialis)
Ekspresi wajah klien baik, klien dapat mengangkat alis dan mengerutkan dahi, memejamkan mata, dapat menggembungkan pipi secara simetris, otot disekitar mulut bisa digerakan.
8. Nervus VIII (Auditorius)
Kien dapat mendengar pembicaraan antara perawat dan keluarga serta mampu mendengar detak arloji
9. Nervus IX (Glosofaringeal)
Klien mampu menelan dengan baik
10. Nervus X (vagus)
Suara klien tidak parau /serak, palatum mole simetris
11. Nervus XI (Asesorius)
Klien dapat mengangkat bahu kanan dan kiri
12. Nervus XII (Hipoglosus)
Klien bisa menjulurkan liodah, lidah tampak simetris, klien dapat membedakan rasa.
g. System penglihatan
Bentuk mata simetris, tidak ada secret di mata, reaksi positif terhadap cahaya, keadaan konjungtiva anemis, klien dapat melihat tanda pengenal perawat.
h. System pendengaran
Bentuk telinga simetris, tidak ada serumen, tidak ada nyeri tekan pada daerah telinga, tidak ada pembengkakan dan nyeri tulang mastoid. Klien dapat berkomunikasi dengan baik dengan perawat.
i. System integumen
Warna kulit sawo matang, terdapat lesi pada kulit kepala bagian frontal, luka bakar pada lengan kanan post amputasi above elbow dextra, badan sebelah kanan,patella sisnistra dengan luas 2 % grade III,radius sisintra dengan luas 1 % grade III luka, terdapat granulasi dan eksudat berwarna putih, terdapat edema pada ekstrimitas atas dan bawah dengan kedalaman 5 mm, kembali 1 menit 20 detik.
j. System endokrin
Tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid, tidak ada riwayat penyakit endokrin.
k. System muskuloskeletal
Struktur tulang punggung normal, tulang dada simetris, amputasi pada tangan kanan, ekstremitas kiri bawah susah dgerakan.
Kekuatan otot :
- - - 5 5 5 3 3
5 5 5 5 3 1 1 5
reflek patella kanan ada. Refleks patella kiri tidak dapat dikaji karena ada luka, refleks bisep tidak ada.
9. Data Penunjang
Tanggal
Jenis Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
29-11-2007
30-11-2007
Hematology
a. Hemoglobin
b. Hematokrit
c. Leukosit
d. Trombosit
a. Albumin
b. Protein total
c. APTT
d. INR
e. Ureum
f. Kreatinin
7,8
23
19.400
173.000
1,7
1,12
26,9
1,15
217
4,13
13-18
4,6-5,2
3.800-10.600
150.000-440.000
3,5-5,0
8,4-12,4
18,0-38,9
0,81-1,18
1550
0,7-1,2
gr /dL
%
mm³
mm³
gr/dl
dtk
dtk
mg/dl
mg/dl
10. Therapy/ Pengobatan
- Infus NaCl 0,9% 20 gtt/menit,
- O2 dengan kanul binasal (3L /Mnt)
- Ceftriaxone 1 gr (2 x sehari) secara intravena
- Omiprekazol 40 mg (2 x sehari) peroral
- Pronalgess supp (bila perlu)
- Sucralfatte 2 sendok teh (4 x sehari) peroral
- Ganti balutan
- NGT untuk bilas lambung
11. Analisa Data
No.
Data
Etiologi
Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
DS : klien mengeluh sedikit sesak
DO : - respirasi 28 x/ menit
- Menggunakan otot Bantu pernafasan
- Bentuk dada barel chest
- Edema anasarka
DS: klien mengeluh haus
DO: - edema anasarka
- Lab:
§ Albumuin 1,7 gr/ dL
§ Protein total 1,12 gr/ dL
DS: klien mengatakan BAB 1 x berwarna kehitaman
DO: - BAB melena 1 kali berwarna hitam.
Hb: 7,8 gr/ dL Konjungtiva anemis
DS: -
DO:-Tampak luka baker dg luas 6 % pada grade II dan 8% pada grade III
- Terdapat escar pada area patella,abdomen kanan terdapat ekdudat berwarna putih pada patella dan radius sinistra.
DS: klien mengtakan bahwa tangan kiri dan kaki kiri kaku untuk di gerakan sehingga klien hanya dapat berbaring.
DO: klien tampak bernaring di tempat tidur, selanjutnya klien sangat berhati – hati dan sangat takut untuk menggerakan kaki kemudian kekuatan otot nya
- - - 5 5 5 3 3
5 5 5 5 3 1 1 5
DS: klien mengeluh tidak bisa turun dari tempat tidur.
DO: - klien tampak lemah
- aktifitas dibantu oleh perawat dan keluarga.
- Klien tampak sakit berat.
- Kekuatan otot.
- - - 5 5 5 3 3
5 5 5 5 3 1 1 5
Risiko infeksi berhubungan dengan kehilangan barier kulit.
DO: luka tampak granulasi, terdapat esker pada bagian patella, abdomen kanan, eksudat pada patella dan radius sinistra.
- leukosit 19.400 mm³
- TTV:
T: 150/ 80 mmHg
P: 100x/ menit
R: 28x/ menit
S: 37,7ºC
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kehilangan anggota badan.
DS: klien mengatakan bahwa dirinya takut bila anaknya menjengik klien, dan merasa tangan kanannya masih ada dan ingin dingunakan.
DO: amputasi pada ekstremitas atas dekstra.
Luka bakar
Kerusakan jaringan dan kapiler
Peningkatan permeabilitas
Kebocoran cairan dari intravaskular ke ekstra selular
Penumpukan cairan di ekstra selular
Gangguan keseimbangan cairan
Edema anasark
Edema sekitar paru
Recoil dan conplain
gangguan pola
napas
Trauma luka bakar
Hipermetabolik
Merangsang N. vagus
Peningkatan HCL lambung
Combustio electric
Kerusakan lapisan kulit
Terjadi koagulasi lapisan kulit mati dan cairan plasma protein
Terbentuk eskar
Gangguan integritas kulit
Kerusakan jaringan
Keterbatasan dalam mobilitas
Kekakuan sendi
Gg.mobilitas
Ketidakefektifan pola nafas
Gg.keseimbangan cairan
Gg.peme-nuhan nutrisi
Kerusakan integrita
12. Diagnosa Keperawatan
No.
Diagnosa Keperawatan
Tgl timbul masalah
Tgl teratasi masalah
Paraf dan nama
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Ketidak efektifan bersihan jalan napas b.d penumpukan cairan di ektraseluler .
DO : Klien mengeluh sedikit sesak
DS :
· RR 28 x / menit
· Menggunakan otot bantu pernapasan
· Bentuk dada Barel chest
· Oedema anasarka
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d kekurangan cairan ( hipoalbumin )
DS : Klien mengeluh haus
DO :- Edema anasarka
-Lab.:
Albumin 1,7 g/dL
Protein total 1,2 g/dL
Ganguan pemenuhan nutrisi b.d peningkatan produksi HCL lambung akibat stress ulcer
DS:
DO:BAB melena 1 X
Hb 7,8
Konjungtiva anemis
Kerusakan integritas kulit b.d kerusakan jaringan,ditandai dengan:
DS: -
DO:-Tampak luka baker dg luas 6 % pada grade II dan 8% pada grade III
- Terdapat escar pada area patella,abdomen kanan terdapat ekdudat berwarna putih pada patella dan radius sinistra.
Gangguan mobilitas fisik b.d kekakuan sendi, ditandai dengan:
DS: klien mengtakan bahwa tangan kiri dan kaki kiri kaku untuk di gerakan sehingga klien hanya dapat berbaring.
DO: klien tampak bernaring di tempat tidur, selanjutnya klien sangat berhati – hati dan sangat takut untuk menggerakan kaki kemudian kekuatan otot nya
- - - 5 5 5 3 3
5 5 5 5 3 1 1 5
deficit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik.
DS: klien mengeluh tidak bisa turun dari tempat tidur.
DO: - klien tampak lemah
- aktifitas dibantu oleh perawat dan keluarga.
- Klien tampak sakit berat.
- Kekuatan otot.
- - - 5 5 5 3 3
5 5 5 5 3 1 1 5
Risiko infeksi berhubungan dengan kehilangan barier kulit.
DO: luka tampak granulasi, terdapat esker pada bagian patella, abdomen kanan, eksudat pada patella dan radius sinistra.
- leukosit 19.400 mm³
- TTV:
T: 150/ 80 mmHg
P: 100x/ menit
R: 28x/ menit
S: 37,7ºC
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kehilangan anggota badan.
DS: klien mengatakan bahwa dirinya takut bila anaknya menjengik klien, dan merasa tangan kanannya masih ada dan ingin dingunakan.
DO: amputasi pada ekstremitas atas dekstra.
hormone, endocrine system
diabetes mellitus
Diabetes melitus atau masyarakat luas mengenalnya sebagai penyakit glukosa atau kencing manis, merupakan penyakit endokrin akibat defek dalam sekresi dan kerja insulin atau keduanya sehingga terjadi defisiensi insulin dimana tubuh mengeluarkan terlalu sedikit insulin (absolut) atau insulin yang dikeluarkan resisten (resisten) sehingga mengakibatkan kelainan metabolisme kronis berupa hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi kronik pada sistem tubuh seperti glikosuria, poliuria, rasa haus, rasa lapar, badan kurus, dan kelemahan.
ANATOMI
Pankreas adalah organ yang mempunyai fungsi endokrin dan eksokrin, terletak di bagian posterior gaster dan berhubungan erat dengan duodenum sebagai sistem pencernaan. Dalam fungsi eksokrin, pankreas terdiri dari kelenjar asini dan sistem duktus yang membawa sekret pankreatik ke duodenum. Sedangkan dalam fungsinya sebagai kelenjar endokrin, pankreas terdiri dari pulau-pulau (islet) Langerhans yang terdiri dari sel α (alfa) yang memproduksi glukagon, sel β (beta)yang memproduksi insulin, dan sel δ (delta)yang memproduksi somatostasin. Untuk memudahkan, dapat dilihat pada tabel berikut :
Sel Hormon Struktur Jaringan target Respon
Alfa (α) Glukagon Polipeptida Terutama hati Meningkatkan pemecahan glikogen, melepaskan glukosa ke sirkulasi
Beta (β) Insulin Protein Terutama hati, otot rangka, jaringan adiposa Meningkatkan uptake dan pemakaian glukosa dan asam amino
Delta (δ) Somatostatin Peptida Sel alfa dan sel beta (somatostasin juga diproduksi si hipothalamus) Menghambat sekresi insulin dan glukagon
FISIOLOGI
Telah disebutkan sebelumnya bahwa insulin dihasilkan oleh sel β pankreas sebagai hormon yang dilepaskan oleh pankreas, merupakan zat utama yang bertanggungjawab dalam mempertahankan kadar glukosa darah yang tepat. Insulin menyebabkan glukosa berpindah ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi. Peningkatan kadar glukosa darah setelah makan atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar glukosa darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar glukosa darah menurun secara perlahan.
Gen insulin manusia terdapat pada lengan pendek dari kromoson 11. Insulin disekresikan sebagai preproinsulin. Preproinsulin adalah suatu peptida rantai panjang dengan BM 11.500. Preproinsulin ini diarahkan ke retikulum endoplasma oleh sinyal dari rangkaian pemandu/sequence yang bersifat hidropfobik. Disini akan terjadi proses pembelahan molekul preproinsulin oleh enzim-enzim mikrosomal menghasilkan molekul proinsulin (BM kira-kira 9000).
Proinsulin diangkut ke badan golgi dimana berlangsung proses pengemasan menjadi granula-granula sekretorik berlapis klatrin. Granula-granula yang matang mengandung insulin yang terdiri dari 51 asam amino yang terkandung dalam 21 asam amino rantai α dan 30 asam amino rantai β serta C-peptida. Dan akhirnya insulin disekresikan dari pankreas 40-50 unit/hari (15-20% dari penyimpanan )
Sekresi insulin dapat berlangsung secara :
Sekresi insulin basal yaitu terjadi tanpa adanya rangsangan eksogen,ini merupakan jumlah insulin yang disekresikan dalam keadaan puasa.
Sekresi insulin yang dirangsang karena adanya respon terhadap rangsang eksogen. Sejumlah zat yang terlibat dalam pelepasan insulin disini adalah :
Glukosa yang merupakan trigger pelepasan insulin paling poten. Glukosa masuk kedalam sel β pankreas secara difusi pasif yang diperantarai protein membran yang spesifik disebut Glukosa Transpoter 2 sehingga akan merangsang sekresi insulin
Asam Amino, asam lemak, dan badan keton.
Faktor hormonal. Saraf β adrenergik merangsang sekresi insulin yang mungkin dengan cara peningkatan cAMP intrasel. Paparan yang terus menerus dengan hormon pertumbuhan, kortisol, laktogen plasenta, estrogen, progestin dalam jumlah yang berlebihan juga meningkatkan sekresi insulin.
Preparat farmalologik : • Senyawa sulfonilurea
• Tolbutamid
Mekanisme kerja insulin dimulai dengan berikatannya insulin dengan reseptor glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel sasaran. Reseptor ini terdiri dari 2 subunit yaitu:
subunit α yang besar dengan BM 130.000 yang meluas ekstraseluler terlibat pada pengikatan molekul insulin.
subunit β yang lebih kecil dengan BM 90.000 yang dominan di dalam sitoplasma mengandung suatu kinase yang akan teraktivasi pada pengikatan insulin dengan akibat fosforilasi terhadap subunit β itu sendiri (autofosforilasi).
Reseptor insulin yang sudah terfosforilasi melakukan reaksi fosforilasi terhadap substrat reseptor insulin (IRS -1). IRS-1 yang terfosforilasi akan terikat dengan domain SH2 pada sejumlah protein yang terlibat langsung dalam pengantara berbagai efek insulin yang berbeda.
Pada dua jaringan sasaran insulin yang utama yaitu otot lurik dan jaringan adiposa, serangkaian proses fosforilasi yang berawal dari daerah kinase teraktivasi tersebut akan merangsang protein-protein intraseluler, termasuk Glukosa Transporter 4 untuk berpindah ke permukaan sel. Jika proses ini berlangsung pada saat pemberian makan, maka akan mempermudah transport zat-zat gizi ke dalam jaringan-jaringan sasaran insulin tersebut.
Kelainan reseptor insulin dalam jumlah, afinitas ataupun keduanya dapat mempengaruhi kerja insulin. Down reglukosation adalah jumlah ikatan reseptor insulin jadi berkurang sebagai respon kadar insulin dalam sirkulasi yang meninggi kronik, contohnya adanya kortisol dalam jumlah yang berlebihan.
Sebaliknya jika kadar insulin rendah, maka ikatan reseptornya akan mengalami peningkatan kondisi ini terlihat pada keadaan lapar atau puasa.
Insulin akan menimbulkan manifestasi seperti di bawah ini :
HATI OTOT JARINGAN ADIPOSA
1. membantu glikogenesis
2. meningkatkan sintesis trigliserida, kolesterol, VLDL
3. meningkatkan sintesis protein
4. menghambat glikogenolisis
5. menghambat ketogenesis
6. menghambat glukoneogenesis 1. membantu sintesis protein dengan :
• meningkatkan transport asam amino
• merangsang sintesis protein ribosomal
2. membantu sintesis glikogen 1. membantu penyimpanan trigliserida
2. meningkatkan transport glukosa ke dalam sel lemak
3. menghambat lipolisis intraseluler
PATOFISIOLOGI
Kadar glukosa darah sepanjang hari bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar glukosa darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung glukosa maupun karbohidrat lainnya. Kadar glukosa darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif karena pada saat melakukan aktivitas fisik kadar glukosa darah juga bisa menurun karena otot menggunakan glukosa untuk energi.
Dilihat dari kadar insulin dalam tubuh penderita maka diabetes dapat digolongkan menjadi dua yaitu diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2.
DIABETES MELLITUS TIPE 1
Diabetes tipe 1 atau disebut juga Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) karena ketergantungannya terhadap insulin. Awalnya DM tipe 1 disebut sebagai diabetes juvenilis karena dapat diderita pada bayi dan anak-anak. Defisiensi insulin pada DM tipe 1 bersifat absolut sehingga menyebabkan penderita harus mendapat suplai insulin dari luar karena tanpa pemberian insulin eksogen ini, pasien akan jatuh dalam dekompensasi metabolik yang berat, ketoasidosis, sampai kematian dalam waktu yang pendek. Keadaan ini disebabkan karena lesi pada sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Banyak hal yang dapat menyebabkan DM tipe 1. Menurut The Expert Committee on the Diagnosis and Classification of DiabetesMellitus, didapat 2 subklasifikasi untuk DM tipe 1, yaitu Immune mediated (DM 1A) dan Idiopathic (DM 1B).
DIABETES MELLITUS 1A
DM 1A terjadi karena adanya immune mediated atau mekanisme autoimun. Walaupun masih spekulatif dan belum lengkap, hasil penelitian pada manusia dan hewan model menunjukkan bahwa interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan berperan dalam mekanisme patogenesis DM 1A. Namun, tahapan perjalanan penyakit dan mekanisme patogenesis DM 1A sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui. Berbagai kemungkinan perjalanan penyakit DM 1A adalah :
• linier - sekali proses autoimun dicetuskan, proses tersebut akan menetap serta berlanjut dengan perjalanan yang progresif.
• acak -sesudah proses autoimun dicetuskan dapat mengalami fluktuasi dengan periode-periode remisi dan kambuhan (relaps) disertai abnormalitas metabolik dan imunologik yang juga berfluktuasi. Proses autoimun tersebut mungkin dapat bersifat sementara (transient) dan reversibel.
PERJALANAN PENYAKIT
Perjalanan DM 1A dapat dibagi menjadi beberapa tahap diawali dengan kerentanan genetik dan diakhiri (dari sudut pandang imunologi dengan destruksi sel β yang menyeluruh :
1. Tahap I : kerentanan genetik
2. Tahap II : pemicu autoimunitas
3. Tahap III : destruksi sel β oleh proses autoimunitas
4. Tahap IV : hilangnya sekresi insulin
Faktor genetik diduga mempengaruhi setiap tahap perkembangan penyakit. Pada beberapa individu yang mengekspresikan alel yang protektif, walaupun menunjukkan adanya autoantibodi di dalam serumnya tetapi dapat juga tidak berlanjut menjadi DM 1A.
TAHAP I. RISIKO GENETIK
Diabetes tipe 1A merupakan bentuk immune mediated diabetes dengan kausa genetik yang diketahui sebagai bagian dari sindrom autoimun. Pada kembar identik (monozigotik) pasien DM 1A mempunyai risiko menderita DM 1A sebesar 50%. Konsisten dengan heterogenitasnya, risiko tersebut sangat bervariasi. Usia awal (onset) timbulnya penyakit menentukan risiko kembarannya. Bila kembarannya menderita DM sebelum usia 5 tahun, risiko saudara kembarnya menjadi diabetes melampaui 50%. Sebaliknya bila saudara kembarnya menderita diabetes sesudah usia 25 tahun, risiko kembarannya kurang dari 10%.
Indivdu dengan mutasi gen Autoimmune Reglukosator (AIRE) menimbulkan immune mediateddiabetes. Pada manusia, gen-gen utama yang terkait dengan DM 1A adalah gen HLA DR dan DQ. Selain gen-gen HLA DQ dan DR, didapatkan paling sedikit 15 lokus gen yang memegang peran dalam kerentanan diabetes pada, walaupun peran setiap lokus tersebut relatif kecil (polygenic inheritance).
Bagaimana mekanisme kerentanan dan proteksi tersebut berlangsung sampai saat ini belum jelas. Diduga kegagalan seleksi-maturasi sel T di timus menyebabkan banyaknya sel T yang mengekspresikan sekaligus CD4+ dan CD8+ lolos di sirkulasi perifer sehingga sel-sel tersebut tidak mampu membedakan self dan non-self.
TAHAP II : PEMICU (TRIGGERING)
Autoimunitas anti-islet (misal: autoantibodi insulin), insulitis dan immune mediated diabetes dapat dicetuskan dengan berbagai manipulasi imunologik dan genetik. Pemberian poly-IC (poly inosinic cytodylic acid) pada strain tikus normal yang rentan terhadap diabetes akan menimbulkan insulitis dan pada sebagian tikus yang lain menimbulkan diabetes yang nyata (overt) dengan destruksi sel β. Poly-IC berinteraksi dengan reseptor Toll 3 sistim imun innate yang berakibat serangkaian peristiwa imunologik
intrasel yang dimediasi sitokin. Poly-IC menirukan virus RNA double stranded dalam menimbulkan DM 1A pada individu yang rentan.
Berbagai strain mencit yang normal dengan cepat akan membentuk autoantibodi terhadap insulin bila dihadapkan dengan peptida insulin. Bila peptida tersebut diberikan bersama dengan poly-IC, insulitis akan terinduksi dan pada mencit yang rentan diabetes dapat terinduksi juga. Berbagai studi dengan model binatang menunjukkan bahwa binatang normal mempunyai limfosit B dan T yang autoreactive yang dapat diperbanyak dan diaktifkan, dengan hasil akhir diabetes. Walaupun strain-strain tersebut normal, tetapi mereka mempunyai varian-varian molekul MHC yang menentukan kerentanan penyakit, dengan cara mempengaruhi responsi sel T terhadap peptida yang relevan. Molekul MHC kelas II (equivalen dengan DR and DQ pada manusia) tampaknya mungkin mempengaruhi timbulnya diabetes dengan cara mengikat peptida yang sesuai dan mempresentasikan pada sel T di dalam sel islet, atau dengan mempengaruhi T cell repertoir di timus.
Pada manusia, faktor lingkungan yang mencetuskan autoimunitas anti-islet sebagian besar masih belum diketahui. Infeksi kongenital diketahui meningkatkan risiko DM 1A, dan berbagai kelainan autoimun (seperti autoimunitas tiroid). Infeksi rubella kongenital dikaitkan dengan meningkatnya risiko DM 1A. Diduga infeksi kongenital merusak sistim imun yang sedang tumbuh dan menyebabkan kerentanan berbagai penyakit meningkat.
Enterovirus mungkin merupakan faktor lingkungan yang paling banyak diteliti. Para ahli mengkaitkan antibodi virus Coxsackie dan virus RNA tipe 1 dengan DM 1A. Dengan mengukur timbulnya autoantibodi anti-islet, studi di Finlandia membuktikan bahwa infeksi dengan enterovirus dikaitkan dengan timbulnya autoimunitas anti-islet. Peran faktor makanan dalam kaitannya dengan risiko DM 1A juga telah diteliti secara ekstensif. Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa susu sapi yang diberikan pada bayi, terutama pada bulan-bulan pertama dikaitkan dengan timbulnya diabetes. Penelitian dari Denver, Munich, dan Melbourne tidak mendukung hipotesis tersebut. Saat ini belum ada data yang cukup kuat yang mengkaitkan diet pada bayi dengan risiko diabetes.
Namun, faktor lingkungan diduga selain meningkatkan risiko timbulnya diabetes, tetapi mungkin juga memberikan proteksi. Dalam kurun waktu tiga dekade insidensi diabetes, khususnya diabetes yang timbul pada usia 5 tahun atau kurang, meningkat secara dramatis tiga kali lipat. Peningkatan seperti itu tidak dapat dijelaskan dari perubahan genetik. Satu hipotesis mengemukakan bahwa lingkungan yang makin “bersih” menyebabkan perkembangan sistem imun yang normal akan terganggu (misal : perkembangan yang subnormal reglukosatory T cell) dengan akibat meningkatnya penyakit-penyakit yang dimediasi Th2 (asthma) dan Th1 (DM tipe 1). Studi mengungkapkan adanya kemungkinan berkurangnya infeksi dengan cacing kremi dengan meningkatnya risiko DM 1A.
TAHAP III : AUTOIMUNITAS
Pada anak yang beresiko DM 1A dan diikuti perkembangannya sejak lahir, insulin autoantibodies pada umumnya merupakan autoantibodi pertama yang muncul. Autoantibodi tersebut dapat muncul pada 6 bulan pertama usia bayi. Sekali autoantibodi insulin tersebut muncul pada usia yang sedemikian muda maka risiko timbulnya autoantibodi-autoantibodi islet-cell yang lain serta terjadinya DM 1A meningkat. Lebih dari 90% anak dengan DM 1A yang timbul sebelum usia 5 tahun mempunyai insulin autoantidodies, bila DM 1A timbul sesudah usia 12 tahun insulin autiantibodies hanya didapatkan pada kurang dari 50%.
Terapi insulin pada penderita dapat menginduksi insulin antibodi yang sampai saat ini belum dapat dibedakan dengan insulin autoantibodi. Oleh sebab itu pada pendeita yang telah mendapat terapi insulin selama beberapa minggu, insulin autoantibodi yang positif tidak dapat diinterpretasikan. Semua autoantibodi yang diperiksa pada 9 bulan pertama usia anak mungkin diperoleh dari ibu yang menderita DM 1A dan mendapat terapi.
Keberadaan autoantibodi tunggal hanya dikaitkan denganpeningkatan risiko progresi menjadi DM 1A sekitar 20%. Bila didapatkan dua atau lebih autoantibodi (GAD65, ICA512, atau insulin) maka progresi menjadi diabetes sangat tinggi, dan bila diikuti selama 10 tahun mencapai lebih dari 75%. Bila didapatkan beberapa autoantibodi, umumnya autoantibodi-autoantibodi tersebut tetap terekspresi sampai individu tersebut menjadi diabetes yang nyata (overt). Sesudah diabetesnya timbul, autoantibodi tersebut akan menghilang. ICA512 menghilang lebih cepat dibanding dengan GAD65 (lebih dari 10 tahun). Pada pasien yang sudah lama menderita diabetes, transplantasi pankreas atau islet cell, ekspresi GAD65 dan ICA512 dapat diinduksi kembali.
Tetapi tidak semua juga individu dengan 2 atau lebih autoantibodi berkembang menjadi DM 1A. Misalnya, pada individu yang mempunyai 2 autoantibodi atau lebih dan mempunyai molekul HLA yang protektif, risiko diabetesnya tidak diketahui. Diabetes dapat tidak timbul pada individu yang mempunyai alel HLA DQB1*0602 yang protektif walaupun titer autoantibodi tinggi.
TAHAP IV. HILANGNYA SEKRESI (PRODUKSI) INSULIN
Secara umum dapat dikatakan bahwa DM 1A timbul pada individu yang secara genetik rentan atau kehilangan proteksi, terpapar oleh suatu agen pencetus dari lingkungan sehingga terjadi proses autoimun yang berlanjut sampai sebagian besar sel b mengalami kerusakan dan musnah.
Saat ini belum ada cara yang secara pasti dapat mengukur masa sel β dan progresi hilangnya sel β. Hanya sebagian kecil individu yang menyandang alel gen yang rentan berlanjut menjadi DM 1A. Tampaknya serangan autoimun berlangsung melalui beberapa tahap dan setiap tahap memerlukan berbagai gen atau faktor lingkungan yang “sesuai” agar proses perjalanan penyakit dapat terus berlangsung atau berhenti. Mungkin timing untuk setiap peristiwa juga penting dalam menentukan kelanjutan proses perjalanan penyakit.
Bukti yang menunjukkan hilangnya secara progresif fungsi sel β diperoleh dari pengukuran sekresi insulin dan C-peptida. Sesudah onset diabetes terbukti bahwa sekresi C-peptida berkurang secara progresif sampai pada akhirnya tidak terdeteksi. Hal tersebut menunjukkan ketergantungan terhadap insulin eksogen yang sesungguhnya.
Pada saudara kandung pasien DM 1A, sekresi insulin fase pertama pasca bolus glukosa intra vena juga berkurang. Fenomena tersebut mendahului timbulnya diabetes. Gangguan tersebut mungkin akibat dari hambatan fungsional sekresi sel β. Akan tetapi studi patologi menunjukkan bahwa pada kembar identik pasien yang tidak menunjukkan aktivitas autoimunitas anti-islet, masa sel β normal. Pada pasien diabetes yang baru sebagian besar massa sel β telah rusak. Di dalam pankreas pasien diabetes tipe 1 didapatkan gambaran islet lesion yang heterogen.
Sebagian besar sel β islet telah hilang dan tidak dijumpai adanya infiltrasi limfosit (pseudotrophic islet). Beberapa islet yang normal tanpa infiltrasi limfosit, serta sebagian islet dengan sisa sel β dijumpai infiltrasi limfosit. Hal tersebut mungkin analog dengan timbulnya vitiligo yang progresif pada kulit, di mana didapatkan bercak-bercak kulit dengan melanosit yang rusak, sedangkan sebagian kulit normal.
DIABETES MELLITUS TIPE 1B
Seperti tang tersirat dari namanya maka dapat kita simpulkan bahwa diabetes mellitus tipe 1b ini tidak diketahui penyebabnya. Pada penderita DM tipe 1B ini tidak ada autoantibodi yang terbentuk namun produksi insulinnya berkurang.
GEJALA
Sebagian penderita DM tipe 1 mungkin mengalami proses yang tidak lengkap, karena perjalanan destruksi sel β yang lambat, dapat tampil secara klinis sebagai DM tipe 2 dengan petanda autoimun (+) sehingga tidak pernah timbul ketoasidosis spontan karena sisa masa sel β masih selalu cukup. Namun dapat timbul ketoasidosis spontan lama sesudah kejadian hiperglikemia yang pertama diidentifikasi. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita DM tipe 1 bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius.
Sebagian individu lagi menunjukkan perjalanan yang sangat akut (fulminant). Hiperglikemia yang berat sampai ketoasidosis dan koma timbul beberapa hari sesudah gejala yang mirip influenza (flu-like). Dan biasanya bila terjadi kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita DM tipe 1 hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Dan hal ini dapat berkembang dengan cepat menuju keadaan ketoasidosis diabetikum. Kadar glukosa di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan glukosa tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). HbA1c biasanya masih normal dan hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi hiperglikemia tersebut masih baru terjadi.
DIABETES MELLITUS TIPE 2
Pada diabetes mellitus tipe 2 (Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus, NIDDM), pankreas tetap menghasilkan insulin, malah terkadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk resisten terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif.
Penyebab resisitensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidakbegitu jelas, tetapi obesitas sentral (tubuh berbentuk seperti buah apel), diet tinggi kolesterol, diet rendah karbohidrat, kurang gerak badan, serta factor keturunan dalam resistensi itu sendiri banyak berperan sebagai penyebabnya. DM tipe 2 biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Faktor pencetus utama DM tipe 2 adalah obesitas, 80-90% penderitanya mengalami obesitas.
Penyebab DM tipe 2 lainnya adalah:
1. Kadar kortikosteroid yang tinggi
2. Kehamilan (diabetes gestasional)
3. Obat-obatan
4. Racun yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin
GEJALA
Gejala awal DM tipe 2 berhubungan dengan efek langsung dari kadar glukosa darah yang tinggi. Jika kadar glukosa darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka urine akan mengandung glukosa. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan urine jumlah yang berlebihan, maka penderita akan mengalami poliuria. Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi.
Akibat poliuria maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori akan hilang ke dalam urine, dan penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).
KOMPLIKASI
Glukosa direduksi menjadi sorbitol di dalam sel yang mengandung enzim aldosareduktase. Sorbitol tidak dapat melalui membran sel. Pada keadaan hiperglikemia, sorbitol dapat menumpuk di dalam sel dan akhirnya membengkak. Akibat penumpukan sorbitol di lensa mata akan terjadi penarikan air yang selanjutnya merusak kejernihannya atau katarak. Sedangkan sel yang tidak dapat mengambil glukosa dalam jumlah yang cukup akan menyusut karena hiperosmolaritas ekstrasel. Fungsi limfosit yang telah menyusut akan terganggu karena itu pasien diabetes rentan terhadap infeksi.
Penumpukan sorbitol di sel Schwann dan neuron akan mengurangi konduksi saraf (polineuripati diabetikum) yang terutama mempengaruhi SSO, refleks, dan fungsi sensorik.Gangguan pada saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk. Jika satu saraf mengalami mononeuropati, maka lengan atau tungkai biasa secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ke tangan, tungkai, dan kaki mengalami kerusakan, maka pada lengan dan tungkai bisa dirasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar dan kelemahan. Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit lebih sering mengalami cedera karena penderita tidak dapat meredakan perubahan.
Hiperglikemia meningkatkan pembentukan protein plasma yang mengandung gula, seperti fibrinogen, haptoglobin, makroglobulin α, sera factor pembekuan V-VII. Maka pembekuan dan viskositas darah cenderung meningkat sehingga rawan terjadi trombosis. Jika massa ini menempel di pembuluh darah maka akan menyebabkan emboli dan memicu ateroskerosis, pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju ke kulit dan saraf. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat lemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes terutama pria. Sehingga sirkulasi yang buruk melalui pembuluh darah besar dan kecil dapat melukai jantung, otak, tungkai, mata, ginjal, saraf dan kulit dan memperlambat penyembuhan luka. 70-75% kematian DM disebabkan oleh aterosklerosis. Berkurangnya aliran darah ke kulit juga bisa menyebabkan ulkus dan semua penyembuhan luka berjalan lambat. Ulkus di kaki bisa sangat dalam dan mengalami infeksi serta masa penyembuhannya lama sehingga sebagian tungkai harus diamputasi.
Akhirnya, glukosa dapat bereaksi dengan HbA membetuk HbA1c. HbA1c ini memiliki afinitas oksigen yang lebih tinggi daripada HbA sehinga pelepasan oksigen di perifer akan berkurang. Setiap peningkatan HbA1c 1% meningkatkan resiko gagal jantung sebesar 8%. Hiperglikemia memicu peningkatan akumulasi kolagen di miokardium yang mengganggu fungsi sistolik dan diastolik. Hiperglikemia juga mengubah protein kinase C sehingga meningkatkan stres oksidatis, meningkatkan kemampuan aktivitas angiotensin converting enzyme dan komponen lain dari system renin-angiotensin-aldosteron.
Karena hal tersebut diatas, maka penderita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka panjang yang serius. Yang lebih sering terjadi adalah serangan jantung dan stroke. Kerusakan pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan (retinopati diabetikum). Kelainan fungsi ginjal menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani dialisa.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah, ditunda atau diperlambat dengan mengontrol kadar glukosa darah.
DIAGNOSA
Diagnosis diabetes ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya (polidipsi, polifagi, poliuria) dan hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan kadar glukosa darah yang tinggi. Dengan kemajuan pengetahuan dan teknik pemeriksaan yang ada, saat ini perkembangan seseorang yang akan menjadi DM 1 dapat dipantau dan diidentifikasi. Tampaknya autoantibodi-autoantibodi anti-islet dapat mendahului kejadian hiperglikemia sampai beberapa tahun pada penderita DM tipe 1A. Biasanya gangguan toleransi glukosa (dengan tes toleransi glukosa intravena) sudah mulai terlihat lebih dari 1 tahun sebelum mulai timbulnya (onset) diabetes. Mayoritas individu tersebut menunjukkan peningkatan glukosa darah 2 jam pasca muatan glukosa (200 mg%) dan bukan peningkatan glukosa darah puasa. Sebagian pasien datang dalam kondisi yang akut dengan hiperglikemia yang berat serta ketoasidosis yang mengancam jiwa. Sekitar 1/200 anak-anak meninggal dunia pada saat onset DM 1.
Tapi ternyata diketahui bahwa petugas kesehatan sering gagal menegakkan diagnosis diabetes pada pertemuan pertama. Anak tersebut kemudian datang lagi dalam kondisi yang jauh lebih buruk dan meninggal karena oedem otak. Gejala dan keluhan klasik seperti poliuria, polidipsi dan berat badan yang menurun biasanya didapatkan akan tetapi diagnosis awal diabetes tetap luput. Mual dan muntah yang menyertai biasanya menyebabkan diagnosis yang salah. Diagnosis (alternatif) yang paling sering diajukan adalah infeksi virus. Seharusnya dengan ketersediaan pemeriksaan glukosa darah yang mudah (dengan menggunakan glucosemeter) kesalahan tersebut seharusnya dapat lebih ditekan.
Untuk mengukur kadar glukosa darah, sampel darah diambil setelah penderita berpuasa selama 8 jam atau bisa juga diambil setelah makan. Pada usia diatas 65 tahun, paling baik jika pemeriksaan dilakukan setelah berpuasa karena setelah makan, usia lanjut memiliki peningkatan glukosa darah yang lebih tinggi.
Pemeriksaan darah lainnya yang bisa dilakukan adalah tes toleransi glukosa. Tes ini dilakukan pada keadaan tertentu, misalnya pada wanita hamil. Penderita berpuasa dan contoh darahnya diambil untuk mengukur kadar glukosa darah puasa. Lalu penderita meminum larutan khusus yang mengandung sejumlah glukosa dan 2-3 jam kemudian contoh darah diambil lagi untuk diperiksa.
BUKAN DM PREDIABETES DM
Kadar gula darah sewaktu (mg/dL) Plasma vena < 100 100 – 199 ≥ 200
Darah kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200
Kadar gula darah puasa (mg/dL) Plasma vena < 100 100 – 125 ≥1265
PENGOBATAN
Tujuan utama pengobatan diabetes mellitus adalah untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam kisaran yang normal. Kadar glukosa darah yang benar-benar normal sulit untuk dipertahankan, tetapi semakin mendekati kisaran yang normal, maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara maupun jangka panjang adalah semakin berkurang. Idealnya, kadar glukosa darah puasa adalah 100 mg/dL.
Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olah raga dan diet. Seseorang yang obesitas yang menderita diabetes tipe 2 tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolah raga secara teratur dan mengontrol kadar glukosa darahnya. Tetapi kebanyakan penderita merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olah raga yang teratur. Karena itu biasanya diberikan terapi sulih insulin untuk penderita diabetes tipe 1 atau obat hipoglikemik per-oral untuk tipe 2.
Pengaturan diet sangatlah penting bagi kedua tipe diabetes. Penderita tidak boleh terlalu banyak makan makanan manis dan harus makan dalam jadwal yang teratur serta memahami pola diet dan olah raga untuk mengontrol penyakitnya. untuk mengontrol kadar glukosa darah dan berat badan. Penderita diabetes cenderung memiliki kadar kolesterol yang tinggi, karena itu dianjurkan untuk membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya.
Selain itu, penting pula memperhatikan nilai HbA1c yang idealnya < 1,5%. Penderita juga harus memberikan perhatian khusus terhadap infeksi kaki. Juga diharapkan untuk rutin memeriksakan mata agar cepat diketahui bila ada perubahan yang terjadi pada pembuluh darah di mata.
TERAPI SULIH INSULIN
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin ini hanya dapat dilakukan melalui suntikan, insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per-oral. Insulin disuntikkan dibawah kulit ke dalam lapisan adiposa lengan, paha atau dinding perut. Dan untuk mengurangi rasa nyeri, jarum yang digunakannya sangat kecil. Saat ini, bentuk insulin yang baru yaitu secara inhalasi sedang dalam penelitian, namun laju penyerapannya yang berbeda masih menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya.
Sediaan insulin ini bersifat stabil dalam suhu ruangan selama berbulan-bulan sehingga bisa dibawa kemana-mana. Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan lama kerja yang berbeda:
1. Insulin kerja cepat.
Contohnya adalah insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling sebentar. Insulin ini seringkali mulai menurunkan kadar glukosa dalam waktu 20 menit, mencapai puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam. Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani beberapa kali suntikan setiap harinya dan disutikkan 15-20 menit sebelum makan.
2. Insulin kerja sedang.
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam waktu 6-10 jam dan bekerja selama 18-26 jam. Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
3. Insulin kerja lama.
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam.
Pemilihan bentuk insulin yang akan digunakan tergantung kepada:
1. Keinginan penderita untuk mengontrol diabetesnya
2. Keinginan penderita untuk memantau kadar glukosa darah dan menyesuaikan dosisnya
3. Aktivitas harian penderita
4. Kecekatan penderita dalam mempelajari dan memahami penyakitnya
5. Kestabilan kadar glukosa darah sepanjang hari dan dari hari ke hari.
Sediaan yang paling mudah digunakan adalah suntikan sehari sekali dari insulin kerja sedang. Tetapi sediaan ini memberikan kontrol glukosa darah yang paling minimal. Kontrol yang lebih ketat bisa diperoleh dengan menggabungkan 2 jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Suntikan kedua diberikan pada saat makan malam atau ketika hendak tidur malam. Kontrol yang paling ketat diperoleh dengan menyuntikkan insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang pada pagi dan malam hari disertai suntikan insulin kerja cepat tambahan pada siang hari.
Beberapa penderita lansia memerlukan sejumlah insulin yang sama setiap harinya. Sebagian penderita lainnya perlu menyesuaikan dosis insulinnya tergantung kepada makanan, olah raga dan pola kadar glukosa darahnya.
Penyuntikan insulin dapat mempengaruhi kulit dan jaringan dibawahnya pada tempat suntikan. Kadang terjadi reaksi alergi yang menyebabkan nyeri dan rasa terbakar, diikuti kemerahan, gatal dan pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan selama beberapa jam. Suntikan sering menyebabkan terbentuknya endapan lemak (sehingga kulit tampak berbenjol-benjol) atau merusak lemak (sehingga kulit berlekuk-lekuk). Komplikasi tersebut bisa dicegah dengan cara mengganti tempat penyuntikan dan mengganti jenis insulin. Pada pemakaian insulin manusia sintetis jarang terjadi resistensi dan alergi.
OBAT-OBAT HIPOGLIKEMIK PER-ORAL
1. Golongan sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar glukosa darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe 2, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe 1. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar glukosa darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan efektivitasnya.
2. Metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri.
3. Acarbose yang dapat diberikan sebagai monoterapi amaupun kombinasi. Obat ini menghambat penyerapan glukosa dengan mengikatnya dan dapat dikonsumsi pada penderita DM tipe 2 gemuk maupun kurus. Obat ditelan bersamaan dengan suapan pertama sewaktu makan.
Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe 2 jika diet dan olahraga gagal menurunkan kadar glukosa darah secara adekuat. Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari), meskipun beberapa penderita memerlukan 2-3 kali pemberian. Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat mengontrol kadar glukosa darah dengan baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin.
PEMANTAUAN PENGOBATAN
Pemantauan kadar glukosa darah merupakan bagian yang penting dari pengobatan diabetes. Adanya glukosa bisa diketahui dari urine, tetapi pemeriksaan urine bukanlah cara terbaik untuk memantau pengobatan atau menyesuaikan dosis pengobatan. Saat ini kadar glukosa darah dapat diukur sendiri dengan mudah oleh penderita di rumah. Dan penderita diabetes harus mencatat kadar glukosa darah mereka dan melaporkannya kepada dokter agar dosis insulin atau obat hipoglikemiknya dapat disesuaikan.
MENGATASI KOMPLIKASI
Insulin eksogen maupun obat hipoglikemik per-oral dengan dosis yang terlalu tinggi dapat sangat menurunkan kadar glukosa darah sehingga terjadi hipoglikemia. Hipoglikemia juga bisa terjadi jika penderita kurang makan atau tidak makan pada waktunya atau melakukan olah raga yang terlalu berat tanpa makan.
Jika kadar glukosa darah terlalu rendah, organ pertama yang terkena efeknya adalah otak. Untuk melindungi otak, tubuh segera mulai membuat glukosa dari glikogen yang tersimpan di hati. Proses ini melibatkan pelepasan epinefrin (adrenalin), yang cenderung menyebabkan rasa lapar, kecemasan, meningkatnya kesiagaan dan gemetar. Berkurangnya kadar glukosa darah ke otak bisa menyebabkan sakit kepala.
Hipoglikemia harus segera diatasi karena dalam beberapa menit saja dapat menjadi berat, menyebabkan coma dan kadang cedera otak menetap. Jika terdapat tanda hipoglikemia, penderita harus segera makan glukosa. Karena itu penderita diabetes harus selalu membawa permen, glukosa atau tablet glukosa untuk menghadapi serangan hipoglikemia. Atau penderita segera minum segelas susu, air glukosa atau jus buah, sepotong kue, buah-buahan atau makanan manis lainnya. Penderita diabetes tipe 1 harus selalu membawa glukagon, yang bisa disuntikkan jika mereka tidak dapat memakan makanan yang mengandung glukosa.
GEJALA HIPOGLIKEMIA
1. Rasa lapar yang timbul secara tiba-tiba
2. Sakit kepala
3. Kecemasan yang timbul secara tiba-tiba
4. Badan gemetaran dan berkeringat
5. Bingung
6. Penurunan kesadaran, coma
PENANGANAN KETOASIDOSIS DIABETIKUM DAN LAINNYA
Ketoasidosis diabetikum merupakan suatu keadaan darurat. Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan yang tepat dan cepat, bisa terjadi koma dan kematian. Penderita harus dirawat di unit perawatan intensif dan diberikan sejumlah besar cairan intravena dan elektrolit (natrium, kalium, klorida, fosfat) untuk menggantikan yang hilang melalui urine yang berlebihan.
Insulin diberikan melalui intravena sehingga langsung dapat bekerja dengan dosis yang disesuaikan. Kadar glukosa, keton, dan elektrolit darah diukur setiap beberapa jam, sehingga pengobatan yang diberikan terus dapat disesuaikan. Sampel darah arteri diambil untuk mengetahui keasamannya. Pengendalian kadar glukosa darah dan penggantian elektrolit biasanya bisa mengembalikan keseimbangan asam basa, tetapi kadang perlu diberikan pengobatan tambahan untuk mengoreksi keasaman darah.
Pengobatan untuk koma hiperglikemiak-hiperosmolar non-ketotik sama dengan pengobatan untuk ketoasidosis diabetikum. Diberikan cairan dan elektrolit pengganti. Kadar glukosa darah harus dikembalikan secara bertahap untuk mencegah perpindahan cairan ke dalam otak. Kadar glukosa darah cenderung lebih mudah dikontrol dan keasaman darahnya tidak terlalu berat.
Jika kadar glukosa darah tidak terkontrol, sebagian besar komplikasi jangka panjang berkembang secara progresif. Retinopati diabetik dapat diobati secara langsung dengan pembedahan laser untuk menyumbat kebocoran pembuluh darah mata sehingga bisa mencegah kerusakan retina yang menetap. Terapi laser dini bisa membantu mencegah atau memperlambat hilangnya penglihatan.
Kesimpulan
Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik dimana penderitanya mempunyai kadar glukosa darah tinggi akibat berkurangnya produksi insulin oleh sel beta pankreas ataupun resistensi terhadap hormon insulin itu sendiri. DM dibagi menjadi dua tipe yaitu (1) DM tipe 1 yang dibagi lagi menjadi subtipe 1A dan 1B dan (2) DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan kurangnya insulin dalam tubuh karena adanya autoantibodi atau idiopatik. Sedangkan DM tipe 2 dikarenakan adanya resistensi insulin yang terutama obesitas. Untuk itu, para penderita DM harus mengontrol kadar glukosa darahnya dengan diet dan olahraga bahkan dengan obat hiperglikemik oral ataupun dengan terapi insulin eksogen.